• Home
  • About
  • Contact
  • Advertise

Ma'had Utsman Bin Affan [Rawajaya Cilacap]

Mengokohkan Ummat di atas Tauhid, Merekatkan Ukhuwwah di atas Sunnah, Menebarkan Dakwah Salafiyyah Ahlussunnah wal Jama'ah

    • World
    • Sports
    • Tech
    • Community
    • Shop
    • Features
  • Breaking News

    Home / MANHAJ / Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil?

    Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil?

    18.04 MANHAJ

    More
    1 of 173



    Misalkan Asy-Syaikh Muqbil berselisih dengan Asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam menilai suatu hukum permasalahan kontemporer, atau Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi berselisih dengan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam menilai person tertentu, atau Asy-Syaikh Rabi’ memiliki penilaian yang berbeda dengan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah.
    Apakah pendapat salah seorang dari para ulama tersebut wajib diterima dan diambil? Jika wajib diterima, pendapat ulama siapakah yang wajib diterima? Apakah Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Rabii atau Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan?
    Memang saat terjadi fitnah, solusi terbaik adalah kembali kepada ulama kibar karena keberkahan ilmu bersama mereka. Namun permasalahannya, para ulama kibar juga berselisih dalam memberikan arahan dan nasehat, apa yang harus kita lakukan?
    Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
    «لسنا ندَّعِي في أئمَّةِ الجرح والتعديل العصمةَ من الغلط النادِرِ، ولا من الكلام بنَفَسٍ حادٍّ فيمن بينه وبينهم شحناء وإحنة، وقد عُلِمَ أنّ كثيرًا من كلامِ الأقران بعضِهم في بعض مُهْدَرٌ لا عبرةَ به، لا سيما إذا وَثَّقَ الرجلَ جماعةٌ يلوح على قولهم الإنصاف»
    “Kami tidak mengklaim kemaksuman pada imam jarh wa ta’dil dari kesalahan yang jarang terjadi, mereka tidak pula terbebas dari perkataan keras diantara mereka yang menjurus pada permusuhan dan pertikaian. Diketahui bahwa kebanyakan perkataan ulama yang selevel, penilaian salah seorang mereka  kepada yang lain tidak diambil dan tidak dianggap, terlebih jika  sekelompok ulama yang memiliki sikap inshaf (adil) dalam perkataanya menilai tsiqah orang tersebut.” [Siyaru A’lam An-Nubalaa’, 7/40-41)
    Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata:
    «وكلام الأقران بعضِهم في بعضٍ لا يعبأ به لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد وما ينجو منه إلاّ من عصمه الله، وما علمت أنّ عصرًا من الأعصار سَلِمَ أهلُهُ من ذلك سِوَى الأنبياءِ والصدِّيقين ولو شئتُ لسَرَدْتُ من ذلك كراريس»
    “Perkataan teman yang selevel, salah satu dari mereka kepada sahabatnya yang lain tidaklah teranggap, terlebih lagi jika telah jelas bagi Anda bahwa perkataan tersebut disebabkan oleh permusuhan, (fanatik) madzhab ataupun hasad. Tidak ada seorang pun yang selamat dari sifat ini kecuali orang-orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu Nabi -pen). Saya belum mengetahui dari zaman ke zaman, ada orang yang terbebas dari sifat ini, kecuali para nabi dan shiddiqiin. Jika saya mau, saya akan menyebutkan permasalahan ini dalam tulisan-tulisan.” [Miizaanul I’tidal, 1/111]
    Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:
    «إنّ من صحّت عدالتُهُ، وثبتت في العلم أمانتُهُ، وبانت ثقتُهُ وعنايته بالعلم لم يُلتفتْ إلى قول أحدٍ إلاّ أن يأتي في جرحه بِبَيِّنَةٍ عادلةٍ يصحُّ بها جرحه على طريق الشهادات والعمل فيها من المشاهدات والمعاينة»
    “Sesungguhnya orang yang telah sah keadilannya, telah diketahui amanahnya dalam ilmu dan ke-tsiqah-annya, serta perhatiannya terhadap ilmu, maka tidak perlu menoleh perkataan orang yang men-jarh-nya, kecuali jika ia membawakan bukti yang adil dalam jarh-nya dan dapat dipertanggung-jawabkan melalui jalur persaksian, serta dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang nyata.” [Jami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/152]
    Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
    فقد يعتقد أحد المجتهدين ضعف رجل , ويعتقد الآخر ثقته وقوته وقد يكون الصواب مع المضعف لاطلاعه على سبب خفي على الموثق وقد يكون الصواب مع الأخر لعلمه بأن ذلك السبب غير قادح في روايته وعدالته  , إما لأن  جنسه غير قادح وإما لأن له فيه عذرا أو تأويلا يمنع الجرح
    "Terkadang sebagian mujtahid mendha’ifkan seseorang, sedangkan sebagian yang lain menilai tsiqah dan menguatkannya. Terkadang kebenaran bersama ulama yang mendha’ifkan, karena ia telah mengetahui sebab jarh yang tersembunyi bagi ulama yang menilai tsiqah, dan terkadang kebenaran bersama ulama yang menilai tsiqah, karena pengetahuan ulama tersebut bahwa sebab jarh ini tidaklah menjadikan celaan dalam riwayat dan keadilannya. Ada kemungkinan karena jenis kesalahannya memang tidak cukup untuk menjadikan celan baginya atau ia memiliki udzur dan ta’wil yang menghalanginya dari jarh” [Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/556]
    Taajuddin As-Subki Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
    «الحذر كلّ الحذر أن تفهم قاعدتهم: «الجرح مقدم على التعديل» على إطلاقها، بل الصواب أنّ من ثبتت إمامته وعدالته وكثر مادحوه وندر جارحوه، وكانت هناك قرينة دالة على سبب جرحه من تعصُّب مذهبيٍّ أو غيرِه لم يلتفت إلى جرحه»
    “Berhati-hatilah dalam memahami kaidah jarh lebih didahulukan daripada ta’dil’ secara mutlak. Yang lebih tepat adalah orang yang telah diketahui keimaman dan kredibilitasnya, banyak yang memujinya dan sedikit yang men-jarh-nya, serta ada pula indikasi yang menunjukkan bahwa alasan jarh-nya disebabkan karena fanatik madzhab atau selainnya, maka tidak perlu menoleh pada jarh-nya.” [Thabaqat Asy-Syâfi’îyah, 1/188]
    As-Subki rahimahullah juga berkata:
    «عرفناك أنّ الجارح لا يقبل منه الجرح، وإن فسّره في حقّ من غلبت طاعته على معاصيه، ومادحوه على ذامّيه، ومُزَكُّوه على جارحيه، إذا كانت هناك منافسة دنيوية، كما يكون بين النظراء أو غير ذلك، وحينئذٍ فلا يلتفت لكلام الثوريِّ وغيرِه في أبي حنيفة، وابن أبي ذئب وغيرِه في مالكٍ، وابنِ معينٍ في الشافعي، والنسائيِّ في أحمدَ بنِ صالحٍ ونحوِه، ولو أطلقنا تقديم الجرحِ لَمَا سَلِمَ لنا أحدٌ من الأئمّة، إذ ما من إمامٍ إلاّ وقد طَعَنَ فيه الطاعنون، وهَلَكَ فيه الهالكون»
    “Telah kami jelaskan kepada Anda, bahwa seorang ulama yang men-jarh terkadang tidak diterima jarh-nya kepada orang yang lebih dominan ketaatannya dari kemaksiatannya, orang yang memujinya lebih banyak dari yang mencelanya atau orang yang merekomendasikan lebih banyak daripada yang men-jarh-nya, meskipun ia memberikan rincian, apabila di sana terdapat unsur persaingan duniawi.
    Sebagaimana yang terjadi diantara kubu yang saling berseteru atau selainnya. Pada saat itu, tidak perlu menoleh kepada perkataan Ats-Tsauri dan selainnya kepada Abu Hanifah, perkataan Ibnu Abi Dzi’b dan selainnya kepada Malik, Ibnu Ma’in kepada Asy-Syafi’i, An-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih dan semisalnya. Sekiranya kita secara mutlak mendahulukan jarh (dari ta’dil dalam semua keadaan), tentu tidak ada seorang imam pun yang selamat. Karena tidak ada seorang imam pun melainkan ada para pencela yang mencelanya dan terdapat orang-orang binasa yang berusaha menjatuhkannya.” [Thabaqat Asy-Syâfi’îyah, 1/190]
    Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata:
    نحن متفقون على جرح أهل البدع والحزبيين , متفقون على هذا , بقي في أناس عند شخص من المجروحين وعند اخر ليسوا من المجروحين , هذا حدث على عهد السلف فرب راو يقول فيه أحمد بن حنبل ثقة , ويقول فيه يحيى بن معين كذاب , أو العكس وهكذا البخاري وأبو زرعة وأبو حاتم والمهم لا يقلد بعضهم بعضا , فإن اختلفنا في توثيق شخص أو تجريحه فليس هذا أننا مختلفون في العقيدة هذا أننا مختلفون في الإتجاه
    “Kita bersepakat untuk memberikan jarh terhadap ahlul-bid’ah dan hizbiyyin, kita telah bersepakat di atas hal ini. Tinggal tersisa sekelompok orang yang teranggap majruh menurut sebagian ulama, namun teranggap tsiqah menurut ulama yang lain, ini telah terjadi sejak masa salaf. Terkadang terdapat seorang rawi yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal “tsiqah”, namun Yahya bin Ma’in menilainya “kadzaab”, atau sebaliknya.
    Demikian pula yang terjadi pada Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim, yang terpenting adalah sebagian mereka (para ulama –pen) tidaklah taklid kepada ulama yang lain. Jika kita berselisih tentang penilaian tsiqah atau jarh terhadap seseorang, bukanlah berarti kita berselisih dalam permasalahan aqidah, tidak pula berarti kita berselisih dalam arah dan tujuan.” [Kaset Ad-Durar fii Al-Ajwibah]
    Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:
    فأقوالُ العلماء في الجرح والتعديلِ أو في كلامِ بعضِهم في بعضٍ أمرٌ اجتهاديٌّ يَقبلُ الإصابةَ والخطأَ، والمجتهدُ مأجورٌ على اجتهادِهِ وإن أخطأَ فله أجرٌ واحدٌ، فهو بكُلِّ حالٍ مأجورٌ، والإثمُ عنه مرفوعٌ، لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»(١- أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنة» باب أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ (6916)، ومسلم في «الأقضية» باب بيان أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ: (4487)، وأبو داود في «الأقضية» باب في القاضي يخطئ (3574)، وابن ماجه في «الأحكام» يجتهد فيصيب الحق (2314)، وأحمد: (17360)، من حديث عمرو بن العاص رضي الله عنه)، ويترتَّب على ذلك ما ورد في السؤال من سعة الصدر وعدمِ التشنيعِ على المخالف وحملِهِ على أحسنِ المحامل؛ لأنّ الأصلَ في العلماء أنهم أهلُ عَدْلٍ وإنصافٍِ، وإنما قد يقع منهم من الطَّعن غيرِ المعتبر لِهَوًى، ومسالكُ الهوى ومساربه دقيقَةٌ، والمعصومُ من عصمه اللهُ.
    “Pendapat para ulama dalam permasalahan jarh dan ta’dîl, atau penilaian sebagian mereka (ulama –pen) kepada ulama yang lain adalah perkara ijtihadiyyah yang bisa benar dan bisa keliru. Seorang mujtahid akan mendapatkan pahala atas ijtihadnya. Meskipun ia keliru, ia tetap mendapatkan satu pahala. Ulama yang berijtihad dalam hal ini akan bernilai pahala dan kesalahannya dimaafkan, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
    «إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»
    “Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian ia berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia memutuskan hukum, berijtihad kemudian keliru, ia mendapatkan satu pahala.”
    [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitabi was Sunnah bab “Ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” no. 6916, Muslim dalam Al-Aqdhiyah bab “Penjelasan tentang ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” no. 4487, Abu Dawud dalam Al-‘Aqdhiyah bab “Seorang Qadhi yang Keliru” no. 3574, Ibnu Majah dalam Al-Ahkam bab “Berijtihad kemudian menyepakati kebenaran” no. 2314 dan Ahmad no. 17360 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallâhu ‘anhu]
    Konsekuensi dari permasalahan ini sebagaimana terdapat dalam pertanyaan adalah keharusan berlapang dada, ia tidak diperbolehkan merendahkan orang yang berselisih pendapat dengannya. Ia semestinya memahami perkataan ulama kepada kemungkinan yang terbaik, karena menurut kaidah asal, para ulama adalah orang yang adil dan obyektif, hanya saja terkadang terjadi pada mereka sikap saling mencela yang tidak semestinya yang disebabkan oleh hawa nafsu. Jalan dan celah hawa nafsu itu sangat tersembunyi, sedangkan kemaksuman hanyalah dimiliki oleh orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu nabi –pen)”
    Sumber: website resmi beliau di http://www.ferkous.com/rep/Bb17.php
    Asy-Syaikh Prof. Muhammad bin Umar Bazmuul hafizhahullah pernah ditanya,
    السلام عليكم شيخنا أحسن الله إليكم هل الجرح والتعديل من المسائل الاجتهادية أو الخلافية وجزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
    “Assalamu’alaikum syaikhana ahsanallahu ilaikum..apakah jarh dan ta’dil termasuk permasalahan ijtihadiyyah atau khilafiyyah? Semoga Allah memberikan balasan kebaikan dan barakah pada Anda..
    Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul hafizhahullah menjawab:
    وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
    الأصل في الجرح والتعديل أنه خبر ، ينقله لك العالم أو يخبر به العالم عن حال المجروح أو المعدل. ويدخل إليه الاجتهاد من جهتين:
    الجهة الأولى : تنزيله المرتبة المناسبة لحاله.
    الجهة الثانية : فهم مراد العالم من عبارته.
    والله اعلم
    “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, asas dalam ilmu jarh dan ta’dil adalah khabar (berita), yaitu seorang ulama yang menukilkan atau menyampaikan berita padamu tentang keadaan orang yang dijarh (dicela) atau dita’dil (diberikan rekomendasi). Permasalahan ini termasuk ijtihadiyyah ditinjau dari dua sisi,
    Pertama, ijtihadiyyah dalam memberikan vonis yang tepat terhadap keadaan orang (yang dijarh atau dita’dil –pen)
    Kedua, ijtihadiyyah dalam memahami perkataan seorang ulama (saat memberikan jarh atau ta’dil–pen). Allahua’lam”
    Sumber: website resmi Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul di sini
    Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:
    إن كان الإختلاف حاصلا في كثير من الأحكام الفقهية فمن باب أولى أن يكون حاصلا في مسائل يتكلم فيها أهل الجرح و التعديل حسب علمهم واجتهادهم , وهذا أمر لا ينكر لكثرة حصوله ولتقرير من قبل أهل العلم
    “Jika perselisihan pendapat terjadi dalam kebanyakan permasalahan fiqih (yang sumbernya berasal dari dalil wahyu -pen), maka perselisihan ini lebih layak terjadi pada permasalahan yang objeknya adalah perkataan ulama jarh wa ta’dil (perkataan manusia -pen), sesuai dengan ilmu dan ijtihad mereka. Ini adalah permasalahan yang tidak bisa diingkari, karena banyaknya fenomena yang terjadi, serta pengakuan langsung dari para ulama” [Al-Ibanah hal. 188]
    Saya akan menyebutkan beberapa contoh perselisihan jarh dan ta’dil yang terjadi di kalangan ulama salaf,
    Jarh Yahya bin Ma’in Terhadap Para Ulama Tsiqaat
    Yahya bin Ma’in berkata saat menilai Asy-Syafi’i: “ia bukanlah seorang yang tsiqah”. Setelah diadukan kepada Ahmad bin Hanbal perkataan tersebut, Al-Imam Ahmad berkata: “Darimana Yahya mengetahui Asy-Syafi’i? Ia tidak mengetahui Asy-Syafi’i, tidak pula mengetahui perkataan Asy-Syafi’i, barangsiapa yang jahil terhadap sesuatu, maka ia akan memusuhinya” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]
    Demikian pula perkataan Yahya bin Ma’in saat menilai Thawus: “ia adalah seorang Syi’ah”.
    Yahya berkata saat menilai Al-Auza’i: “Ia tidak memiliki kemuliaan, ia hanyalah seorang tentara”.
    Yahya berkata saat menilai Az-Zuhri: “ia adalah penjaga simpanan harta sebagian penguasa Bani Umayyah, saat Az-Zuhri kehilangan sebagian hartanya, ia menuduh seorang pemuda, lalu memukulinya hingga pemuda itu mati” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]
    Yahya bin Ma’in adalah seorang ulama jarh wa ta’dil dengan kesepakatan ulama. Namun ketika beliau keliru dalam men-jarh para ulama tsiqaat, hal itu tidak mengurangi kemuliaan beliau, tidak menjadikan beliau dicela dan ditahdzir oleh ulama yang lain, karena kesalahan beliau yang sedikit hanyut oleh kebenaran beliau yang tak terhitung jumlahnya, serta jasa-jasa beliau yang besar dalam berkhidmat terhadap hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kesalahan memvonis person terjadi pada Imam Jarh wa Ta’dil Yahya bin Ma’in, bukankah tidak mustahil hal ini juga terjadi pada para ulama yang berada di bawahnya?
    Namun ketika seorang ulama keliru dalam berijtihad menilai person tertentu, para tukang fitnah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencela, mentahdzir dan menjatuhkan para ulama sejatuh-jatuhnya, bahkan menggelari para ulama dengan nama-nama yang buruk. Inikah adab seorang penuntut ilmu kepada ulamanya... Allahulmusta’an
    Jarh dan Ta’dil Para Ulama terhadap ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas
    Sa’iid bin Al-Musayyib berkata kepada budaknya: “Wahai Burad, janganlah kau berdusta atasku sebagaimana Ikrimah berdusta atas Ibnu Abbas”
    Hammad bin Zaid berkata, dari Ayyub: “Seandainya aku tidak memiliki seorang pun perawi yang tsiqah, aku tetap tidak akan menulis dari Ikrimah”.
    Ibnu Ulayyah berkata, Ayub menyebutkan tentang Ikrimah: “ia sedikit akalnya”.
    Abu Khalaf Al-Kharraz berkata, dari Yahya Al-Bakka’i, aku mendengar Ibnu Umar berkata pada Nafi’: “Wahai Nafi’, janganlah engkau berdusta atas namaku sebagaimana Ikrimah berdusta atas nama Ibnu Abbas”
    Ibrahim bin Al-Mundzir berkata, dari Ma’n bin Isa: “Malik tidak mengangap Ikrimah sebagai tsiqah, ia memerintahkan untuk meninggalkannya”.
    Ar-Rabii’ berkata, dari Asy-Syafi’i: “Ia (Malik) memiliki penilaian yang buruk terhadap Ikrimah. Malik berkata: “Aku tidak memperbolehkan seorang pun mengambil hadits dari Ikrimah”.
    Wuhaib bin Khalid berkata, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari: “Ia (Ikrimah –pen) adalah pendusta” [Tahdziib At-Tahdziib cetakan Muassasah Ar-Risalah, 3/135-136]
    Jika kita diharuskan menerima dan mengambil jarh sebagian ulama secara mutlak, maka kita harus men-jarh Imam Asy-Syafi’i, Imam Al-Auza’i, Az-Zuhri, Thawus dan Ikrimah –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-,  bukankah demikian?
    Namun para ulama dari zaman ke zaman tidaklah demikian dalam mengambil sikap, saya hanya akan menyebutkan pembelaan sebagian ulama terkait tuduhan dusta yang menimpa Ikrimah, seorang tabi’in yang mulia lagi imam para ahli tafsir,
    Al-Marudzii berkata: aku berkata pada Ahmad, “apakah hadits Ikrimah dapat dijadikan hujjah?”. Imam Ahmad berkata: “iya, bisa dijadikan hujjah”.
    Utsman Ad-Darimi berkata: aku bertanya pada Ibnu Ma’in, “manakah yang lebih kau sukai, Ikrimah atau Sa’id bin Jubair?”. Yahya menjawab: “tsiqah, tsiqah” tanpa memilih salah satunya”.
    Ya’qub bin Abi Syaibah berkata, dari Ali bin Al-Madini berkata: “Tidak ada dari budak-budak Ibnu Abbas yang lebih berilmu dari Ikrimah, ia adalah seorang ulama”.
    Al-Ijli berkata: “makkiy, tabi’in, tsiqah”
    Al-Bukhari berkata: “Tidak ada seorang pun dari sahabat kami kecuali berhujjah dengan hadits Ikrimah”
    An-Nasa’i berkata: “tsiqah”
    Ibnu Abi Hatim berkata: “aku bertanya pada ayahku, bagaimana keadaan Ikrimah?”. Ayahku berkata: “tsiqah”. Aku berkata: “haditsnya bisa dijadikan hujjah?”. Ayahku berkata: “iya, jika orang-orang tsiqaat meriwayatkan darinya”.
    Yahya bin Ayyub Al-Mishri berkata: Ibnu Juraij bertanya padaku, “apakah kau menulis hadits Ikrimah?” Aku menjawab: “tidak”. Maka ia berkata: “kau kehilangan sepertiga ilmu”.
    Jarir berkata, dari Mughirah, ditanyakan pada Sa’id bin Jubair, “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?”. Sa’id menjawab: “ada, Ikrimah”
    Isma’il bin Abi Khalid berkata, aku mendegar Asy-Sya’bi berkata: “Tidak tersisa seorang pun yang lebih alim tentang kitabullah dari Ikrimah”
    Sa’id bin Abi ‘Aruubah berkata, dari Qatadah berkata: “Ada empat orang yang paling berilmu dari kalangan tabi’in; Atha’, Sa’id bin Jubair, Ikrimah dan Al-Hasan” [Tadziiib At-Tahdziib, 3/135-137]
    Allahua’lam, semoga bermanfaat..
    Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 20 Rabii’ul Akhiir 1435
    Click here to Reply or Forward



    pondokadvertising


    Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil? Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil? Reviewed by mahad utsman on 18.04 Rating: 5
    Share This
    Facebook Twitter Google+
    MANHAJ

    Tidak ada komentar

    Posting Komentar

    Langganan: Posting Komentar ( Atom )
    Flag Counter

    Social Counter

    • facebook count=3.5k;
      Followers
    • twitter count=1.7k;
      Followers
    • gplus count=735;
      Followers
    • youtube count=2.8k;
      Followers
    • pinterest count=524;
      Followers
    • dribbble count=7.3m;
      Followers
    • instagram count=849;
      Followers
    • rss count=286;
      Followers

    Popular Posts

    • Alhamdulillah..  TELAH DIBUKA GRUP WHATSAPP "BELAJAR BAHASA ARAB"
      Alhamdulillah.. TELAH DIBUKA GRUP WHATSAPP "BELAJAR BAHASA ARAB"
    • Tanya Jawab Seputar Permasalahan Jarh dan Ta’dil dan Penerapannya di Masa ini Bersama Prof. Dr. Asy-Syaikh Washiyyullah Abaas
      Tanya Jawab Seputar Permasalahan Jarh dan Ta’dil dan Penerapannya di Masa ini Bersama Prof. Dr. Asy-Syaikh Washiyyullah Abaas
    • Audio Kajian Kitab Jurumiyah (Grup Whatsapp Bahasa Arab)
      Audio Kajian Kitab Jurumiyah (Grup Whatsapp Bahasa Arab)

    Recent Posts

    Comments

    recentcomments

    Facebook

    Categories

    • AKHLAK
    • AQIDAH
    • AUDIO MP3
    • BAHASA ARAB
    • FIQIH
    • GALLERY PONPES
    • INFO DAKWAH DAN PENDIDIKAN
    • INFO DAUROH ILMIYYAH
    • INFO PESANTREN
    • INFO PONPES
    • KHUTBAH IDUL ADHA
    • KHUTBAL IDUL FITRI
    • MANHAJ
    • MP3 KAJIAN
    • NASEHAT
    • SEPUTAR RAMADHAN
    • SERBA-SERBI
    • SIROH

    Tags

    AKHLAK AQIDAH AUDIO MP3 BAHASA ARAB FIQIH GALLERY PONPES INFO DAKWAH DAN PENDIDIKAN INFO DAUROH ILMIYYAH INFO PESANTREN INFO PONPES KHUTBAH IDUL ADHA KHUTBAL IDUL FITRI MANHAJ MP3 KAJIAN NASEHAT SEPUTAR RAMADHAN SERBA-SERBI SIROH

    Featured Posts

    Recent Posts

    Recent in Sports

  • Created By ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates